Selasa, 14 April 2009

SUICIDE

SUICIDE


Bunuh Diri dan Pandangan Alkitab

Bunuh diri masih menjadi hal yang membingungkan bagi orang Kristen. Walaupun secara umum Alkitab dengan jelas menentang pembunuhan diri sendiri, namun Alkitab belum jelas mempertentangkan beberapa kasus bunuh diri. Oleh karena itu, terdapat kepercayaan yang semakin bertumbuh bahwa orang-orang Kristiani yang melakukan bunuh diri masih akan beroleh kehidupan kekal di surga. Dan beberapa orang Kristen yang dianggap teguh imannya mempunyai pertimbangan bahwa bunuh diri itu suatu "jalan keluar".

Dari ayat-ayat Alkitab, kita dapat berkesimpulan bahwa Allah menghukum kekal orang-orang yang melakukan bunuh diri. Dari sekian kisah bunuh diri dalam Alkitab yang paling kita kenal ialah cerita Saul, Simson, dan Yudas. Saul membunuh dirinya karena malu dan menderita di tangan bangsa Filistin. Bangsa Israel menguburkannya dengan hormat sebagai pahlawan perang. Tidak ada pertentangan tentang bunuh diri (1Samuel 31:1-6). Dan cerita Yudas yang bunuh diri karena penyesalan yang mendalam, Alkitab pun tidak mengomentarinya. Bahkan kematian Yesus juga dianggap sebagai sejenis bunuh diri oleh setengah orang, umpamanya Tertullian.

Sejarah Gereja dalam Kasus Bunuh Diri

Gereja mempunyai sejarah yang panjang tentang bunuh diri. Pendapat yang mengatakan bunuh diri adalah dosa yang tak terampuni juga agak sulit dilacak kebenarannya. Di antara pemimpin-pemimpin Gereja terdahulu, Agustinus adalah tokoh yang paling menonjol dan berpengaruh dalam masalah bunuh diri. Sinode Gereja terdahulu menyatakan bahwa warisan dan persembahan dari mereka yang melakukan bunuh diri atau mencoba bunuh diri tidak boleh diterima; sepanjang periode pertengahan cara penguburan Kristen yang benar tidak berlaku bagi mereka yang bunuh diri.

Pada abad ke-5, St. Agustinus menulis sebuah buku yang berjudul Kota Tuhan (The City of God) dan di dalamnya, beliau membuat kutukan pertama dalam agama Kristian terhadap bunuh diri. Justifikasi untuk kutukannya ialah tafsiran baru bagi rukun, "Jangan membunuh", dengan alasan-alasannya yang lain berasaskan "Phaedra" oleh Plato. Walaupun ini hanya merupakan pertentangan kemanusiaan, setengah orang Kristiani kesudahannya menindas orang-orang yang membunuh diri, menghina mayat-mayat mereka (dengan terkadang mengebumikan mayat mereka di simpang jalan dengan sebatang pancang menembusi mayat mereka), memfitnah mereka, serta menyiksa keluarga-keluarga mereka.

Pada abad ke-6, bunuh diri menjadi suatu dosa keagamaan dan pada tahun 533, siapa yang membunuh diri dituduh melakukan dosa dan tidak dibenarkan mendapat upacara pengebumian secara Kristen yang merupakan keperluan untuk naik ke surga. Kemudian pada tahun 693, percobaan bunuh diri juga menjadi larangan Gereja yang dihukum dengan pengucilan.

Banyak orang Kristiani mempercayai tentang kesucian nyawa manusia. Suatu prinsip yang secara umum mengatakan bahwa semua nyawa manusia adalah suci, suatu ciptaan Tuhan yang mengagumkan dan sungguh ajaib. Setiap usaha harus diambil untuk menyelamatkan dan melindunginya jika mungkin.

Kira-kira seribu tahun selepas St. Agustinus, orang-orang Kristiani sekali lagi mempersoalkan tentang bunuh diri. Walaupun mereka masih mempercayai bahawa bunuh diri umumnya adalah salah, orang-orang Kristiani yang liberal berpendapat bahawa orang-orang yang memilih untuk bunuh diri akan diampuni oleh Tuhan yang penuh dengan kasih sayang.

Thomas Aquinas yakin bahwa bunuh diri, tanpa pertobatan akhir, adalah dosa yang berat. Dante menempatkan mereka yang bunuh diri dalam lingkaran ke-7 neraka. Luther dan Calvin, yang meskipun membenci bunuh diri, tidak menyimpulkan bunuh diri sebagai dosa yang tidak dapat diampuni, karena menurut Calvin menghujat Allah-lah yang merupakan dosa yang tak terampuni (Matius 12:31). Jadi tidak benar kalau pada Gereja Abad Pertengahan ada sumber-sumber yang berpandangan bahwa bunuh diri adalah dosa tak terampuni dan ada perbedaan antara dosa-dosa berat dan yang ringan.

Bebas Memilih?

Kita harus mengerti bahwa bunuh diri adalah tindakan bebas yang tidak dipaksakan dan dilakukan dengan maksud mengakhiri hidup seseorang. Sekali kita mendefinisikan demikian, mudahlah menangkap pengajaran Gereja yang jelas sepanjang abad tadi, bahwa bunuh diri adalah tindakan moral yang salah dan tidak harus dilakukan orang Kristen. Hidup adalah pemberian Allah, jika kita mengakhirinya berarti kita tidak mensyukurinya. Hidup kita adalah milik Allah; kita hanyalah pelayan-pelayan-Nya. Mengakhiri hidup kita sendiri berarti merebut hak prerogatif Allah. Gereja mengatakan bunuh diri sebagai penolakan kebaikan Allah dan hal tersebut tidak pernah dibenarkan.

Apakah tindakan bunuh diri merupakan bentuk penolakan terhadap kebaikan Allah?

Orang Kristen yakin bahwa penghukuman kekal berlaku bagi mereka yang secara langsung menolak Allah sebagai teladan kehidupan yang tetap.

Setiap bunuh diri bukanlah penolakan terhadap kebaikan Allah. Memang dalam banyak kasus, bunuh diri merupakan pilihan yang salah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kita tidak dapat mengatakan motif bunuh diri seperti itu adalah benar. Kita juga tidak dapat serta merta mengatakan seseorang yang bunuh diri karena membuat kesalahan tragis berarti telah memalingkan dirinya dari kemuliaan Allah selamanya.

Tugas Gereja

Dalam masalah bunuh diri, Gereja harus lebih berbuat banyak daripada memberikan pengajaran tentang bunuh diri karena tugas utama Gereja adalah menjadi umat Allah.

Pertama, Gereja harus menjadikan dirinya umat KEBENARAN, suatu umat di mana orang-orang percaya dapat menceritakan kenyataan tentang kehidupannya masing-masing. Sebuah Gereja harus mendengarkan keluhan-keluhan penyakit, penderitaan, dan kegagalan di dalam kehidupan para anggotanya; dan dari Gereja, mereka harus menerima, baik ratapan maupun penyembuhan Kristus. Jika Gereja terbuka dan jujur mengenai sakit dan penderitaan, maka dengan kasih ia dapat melawan krisis-krisis dan kegagalan manusia yang paling sulit sekalipun, termasuk bunuh diri.

Kedua, Gereja harus menjadi umat KASIH yang tidak cepat menghakimi. Karena bunuh diri membawa noda "dosa tak terampuni" dan perasaan malu serta bersalah bagi keluarga yang ditinggalkan, mereka yang sekarang tak lagi mengalaminya harus menyambut/menerima mereka dalam nama Yesus; juga harus saling membantu dalam mengatasi pergumulan mereka dalam kuasa Roh Kudus. Sebaiknya Gereja mempunyai tim pelayanan untuk menghubungi dan setiap hari mencari tahu informasi tentang mereka yang mempunyai masalah. Gereja juga sebaiknya menunjuk orang-orang yang mempunyai talenta khusus yang mampu membuat seseorang mau datang dalam kesedihannya. Umat yang mengasihi harus sabar dalam menghadapi mereka yang mencoba bunuh diri dan keluarga yang bersedih serta merasa bersalah akibat kejadian bunuh diri yang dilakukan salah satu anggotanya.

Ketiga, Gereja harus menjadikan dirinya umat yang BERSUKACITA. Suatu umat akan mengalami sukacita karena memiliki hidup yang telah diperbaharui sehingga dapat mengajak orang lain untuk mengalaminya juga. Pelayan-pelayan Gereja ini akan dengan senang hati memperkenalkan mereka yang bersedih kepada Dia yang mengerti akan kesedihan-kesedihan mereka.

Katolikisme Moden

Dalam agama Katolik, kematian melalui bunuh diri dianggap sebagai suatu dosa besar. Alasan utama Kristiani adalah bahwa hidup seseorang dimiliki Tuhan dan oleh karena itu, pemusnahan nyawa disamakan dengan perbuatan untuk menguasai apa yang sebenarnya dipunyai Tuhan. Bagaimanapun, alasan ini ditentang oleh David Hume yang berpendapat bahwa jika membunuh ketika seseorang ditakdirkan untuk terus hidup adalah salah. Ia salah juga apabila menyelamatkan nyawa seseorang yang memang sudah ditakdirkan untuk mati, karena ini juga menentang kehendak Tuhan. Walaupun demikian, perbedaan antara pendapat-pendapat ini mungkin dapat dirapatkan berdasarkan doktrin Katolik tentang cara-cara luar biasa. Gereja Katolik mengajarkan bahwa tidak adanya satu pun kewajiban moral bagi siapa pun yang memilih kaedah-kaedah luar biasa untuk menyelamatkan orang-orang yang menghadapi kematian yang mungkin.

Konteks yang penting tentang pengutukan bunuh diri Gereja Katolik ialah desakan mutlak Gereja terhadap kesucian hidup. Gereja menganggap bunuh diri sebagai salah satu dari dosa yang paling besar dan mengakibatkan risiko penglaknatan abadi.

Seriusnya pendirian Gereja terdiri daripada dua alasan:

- Bunuh diri ialah penolakan kasih sayang Tuhan kepada manusia, dan kasih sayang manusia kepada Tuhan.

- Bunuh diri mengakibatkan perpecahan komunitas-komunitas kawan, orang-orang yang disayangi, dan masyarakat umumnya.

Agama Yahudi

Agama Yahudi, secara tradisi dan berdasarkan penekanannya terhadap kesucian nyawa, memandang bunuh diri sebagai salah satu dosa yang paling serius. Bunuh diri senantiasa dilarang oleh undang-undang Yahudi dan tidak mempunyai pengecualian. Ia tidak diperlihatkan sebagai satu pilihan yang dapat diterima walau jika keadaannya memaksa seseorang melakukan kesalahan besar yang jalan keluar tunggal ialah untuk membunuh diri untuk mengelakkan perbuatan tersebut. Membantu dalam bunuh diri dan meminta bantuan tersebut juga dilarang.

Kesimpulan agama Yahudi Konservatif adalah seperti yang berikut:

"... mereka yang membunuh diri dan mereka yang membantu orang-orang lain berbuat demikian bertindak atas berbagai-bagai niat. Setengah alasan adalah tidak mulia dan melibatkan umpamanya, keinginan anak-anak untuk melihat ibu atau bapa mereka mati dengan segera supaya tidak menghabiskan harta pusaka secara boros untuk penjagaan kesihatan yang 'sia-sia', atau keinginan syarikat-syarikat insuran untuk mengurangkan dengan sebanyak yang mungkin pembelanjaan wang ke atas pesakit-pesakit yang tidak dapat dirawat”.

Kertas kerja itu mengatakan bahwa respon yang wajar untuk sakit bukannya bunuh diri, tetapi pengobatan terhadap yang sakitlah yang lebih baik.

Gereja Didesak Berbuat Lebih dalam Mengatasi Angka Bunuh Diri yang Tinggi

Para pejabat Gereja mengakui bahwa sementara mereka berupaya meringankan tekanan dan ketegangan di kalangan orang-orang yang mencoba melakukan bunuh diri. Gereja Katolik sebenarnya butuh sebuah program terencana untuk mengatasi angka bunuh diri yang tinggi di Korea.

Menurut data 2004, Korea Selatan memiliki angka bunuh diri tertinggi di antara 30 anggota Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi, sebuah organisasi internasional yang bertujuan untuk membantu pemerintah mengatasi tantangan ekonomi dan sosial.

Angka bunuh diri di Korea Selatan dikalkulasikan mencapai 24,2% per 100.000 jiwa, disusul Jepang dengan 20,3%, Finlandia dengan 18,4%, dan Austria dengan 14,5%.

Menurut Pastor Augustinus Kang Hyuck-June, bunuh diri sering terjadi karena kaum muda tidak terlatih untuk melewati berbagai kesulitan dalam masyarakat.

Sementara itu di Yogyakarta, Bripda Yohanes Widiyanto, 24 tahun, anggota Intelpam Polres Cirebon, ditemukan tewas di depan patung Pieta (patung Bunda Maria yang sedang memangku jenazah Yesus) di dalam Gereja Katolik Santo Antonius, Kotabaru, Senin, 18 April 2005. Yohanes Widiyanto diduga tewas akibat bunuh diri dengan luka tembak di kepala. Saat ditemukan tangan kanan Yohanes masih menggenggam pistol Revolver SWN 2 dengan nomer register 14D-7963, sementara tangan kirinya memegang lembaran panduan doa yang disediakan untuk jemaat Gereja. Terdapat luka tembak di kening kanan tembus ke kening kiri. Proyektil peluru tampak mengenai dinding Gereja. Sementara darah berhamburan di sekitar tubuhnya.

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa bunuh diri itu "dilarang oleh perintah kelima" yang mengutuk pembunuhan. Bunuh diri sangat bertentangan dengan keadilan, harapan, dan kasih dan bertentangan dengan kasih kepada Allah yang hidup. Bunuh diri juga secara tidak adil memutuskan ikatan solidaritas dengan keluarga, bangsa, dan kelompok manusia lainnya.

Namun, katekismus juga mengajarkan bahwa gangguan psikologis yang luar biasa, gangguan kejiwaan, atau rasa takut yang luar biasa akan masa-masa sulit, penderitaan, atau siksaan bisa mengurangi tanggung jawab bagi seseorang yang melakukan bunuh diri.

"Bunuh diri adalah suatu problem kesehatan masyarakat yang serius”.

David Scatcher, Kepala Dinas Kesehatan AS, tahun 1999.

Pernyataan itu manandai kali pertama dalam sejarah bahwa seorang kepala dinas kesehatan Amerika Serikat menyatakan bunuh diri sebagai permasalahan masyarakat. Kini, di negara itu, lebih banyak yang mati karena bunuh diri dibandingkan dengan yang mati karena dibunuh. Tidak mengherankan kalau Senat AS menyatakan pencegahan bunuh diri sebagai prioritas nasional.

Namun angka bunuh diri di Amerika Serikat, yakni 11,4% per 100.000 orang pada tahun 1997, berada di bawah angka global yang diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia pada tahun 2000 — 16% per 100.000. Angka bunuh diri sedunia telah meningkat sebesar 60 persen dalam 45 tahun terakhir ini. Kini dalam satu tahun saja, kira-kira satu juta orang di seluas dunia mengakhiri hidupnya. Itu berarti ada kira-kira satu kematian setiap 40 detik!

Akan tetapi, statistik tidak dapat menyingkapkan situasinya secara menyeluruh. Dalam banyak kasus, anggota keluarga menyangkal bahwa kematian yang terjadi dalam keluarganya adalah akibat bunuh diri. Selain itu, diperkirakan bahwa untuk setiap tindakan bunuh diri yang berhasil dilakukan, ada sekitar 10 sampai 25 percobaan bunuh diri. Sebuah survey mendapati bahwa 27 persen siswa sekolah menengah umum di Amerika Serikat mengaku bahwa pada tahun lalu, mereka secara serius mempertimbangkan untuk bunuh diri; 8 persen dari kelompok yang disurvey mengatakan bahwa mereka pernah mencoba bunuh diri. Penelitian lain telah mendapati bahwa 5 sampai 15 persen populasi orang dewasa pernah suatu waktu berpikir untuk bunuh diri.

Perbedaan Budaya

Cara orang memandang bunuh diri sangat berbeda-beda. Ada yang menganggapnya sebagai kejahatan, yang lain menganggapnya sebagai pelarian seorang pengecut, dan ada pula yang menganggap hal itu sebagai sesuatu cara yang terhormat untuk meminta maaf atas suatu kesalahan yang dilakukan. Ada yang bahkan menganggapnya sebagai cara yang luhur untuk menegakan suatu prinsip. Mengapa pandangannya berbeda-beda? Budaya memainkan peranan yang penting. Pada kenyataanya, The Harvard Mental Health Letter menyatakan bahwa budaya bahkan bisa "mempengaruhi kemungkinan dilakukanya bunuh diri".

Di Hongaria, Dokter Zoltan Rihmer menyebut angka bunuh diri yang tinggi di sana sebagai "'tradisi' yang menyedihkan". Bela Buda, direktur Lembaga Kesehatan Nasional Hongaria, mengamati bahwa orang Hongaria terlalu gampang melakukan bunuh diri, hampir dengan alasan apa pun. "Kalau seseorang mengidap kanker — ia tahu caranya mengakhiri kondisi itu”. Menurut Buda, itu adalah suatu reaksi yang umum.

Di India, pernah ada kebiasaan agama yang dikenal sebagai suttee. Meskipun praktek ini, yakni seorang janda yang melemparkan dirinya ke dalam pembakaran jenazah suaminya, telah lama dilarang, hal itu belum sepenuhnya punah. Sewaktu seorang wanita dilaporkan bunuh diri dengan cara tersebut, banyak warga setempat mengelu-elukan tragedi itu. Menurut India Today, di kawasan India itu, sudah ada hampir 25 wanita yang membakar diri bersama jenazah suaminya dalam 25 tahun terakhir ini.

Di Jepang, bunuh diri merenggut nyawa tiga kali lebih banyak daripada kecelakaan lalu lintas. Budaya tradisional Jepang, yang tidak pernah mengutuk bunuh diri, dikenal dengan penikaman perut sendiri (seppuku atau harakiri) yang sangat dijunjung sebagai ritual. Meskipun bentuk-bentuk bunuh diri yang bersifat ritual ini pada umumnya sudah tidak ada lagi, beberapa orang masih menggunakanya demi pengaruh sosial.

Di pihak lain, dalam susunan Kristen, bunuh diri sudah lama dianggap sebagai kejahatan. pada abad keenam dan ketujuh, Gereja Katolik Roma mengucilkan orang-orang yang telah melakukan bunuh diri dan tidak mengadakan upacara pemakaman bagi mereka. Paradoksnya, mereka yang mencoba bunuh diri bisa dijatuhi hukuman mati. Karena mencoba bunuh diri dengan menggorok lehernya, seorang pria asal Inggris pada abad ke-19 dihukum gantung. Dengan demikian, pihak berwenang mensukseskan apa yang gagal diperbuat pria itu. Parlemen Inggris baru menyatakan bahwa bunuh diri dan percobaan bunuh diri bukan lagi suatu kejahatan pada tahun 1961. Di Irlandia, bunuh diri tetap dianggap sebagai kejahatan sampai tahun 1993.

Dewasa ini beberapa penulis mendukung bunuh diri sebagai suatu alternatif. Sebuah buku tahun 1991 tentang bantuan untuk bunuh diri (assisted suicide) bagi orang-orang yang penyakitnya tak tersembuhkan lagi, menyarankan cara-cara untuk mengakhiri hidup. Belakangan, semakin banyak orang yang tidak mengidap penyakit yang tak tersembuhkan juga menggunakan salah satu metode yang disarankan.

KESIMPULAN

Gereja Katolik dengan tegas menentang tindak bunuh diri, karena dianggap melecehkan Allah. Kehidupan seseorang adalah hak Allah untuk mengatur, mengawali dan mengakhirinya. Ketika seseorang melakukan bunuh diri, ia telah dengan semena-mena merebut hak Allah atas kehidupan seorang manusia ciptaannya. Hal ini adalah sebuah tindakan pelecehan terhadap keagungan Allah, satu-satunya yang berkuasa atas manusia yang hidup. Hidup dan matinya seorang manusia telah diatur dan direncanakan oleh Sang Pencipta. Kita percaya bahwa segala rencana Allah adalah yang terbaik untuk kita. Sehingga apa yang telah diberikan oleh Allah kita jaga dan kita terima sebagai anugerah-Nya yang terindah. Bukan malah kita merusak bahkan menolaknya.

Terhadap berbagai kasus bunuh diri yang terdapat dalam Alkitab, meskipun tidak ada komentar atau pertentangan dari Kepausan Roma sendiri, tetapi baiklah bila kita kembali melihat kepada 10 Perintah Allah, dimana tertulis “Jangan Membunuh”. Apakah konteks “jangan membunuh” ini hanya untuk orang lain? Tidak pernah dikatakan demikian. Perintah ini berlaku untuk siapa saja dengan subjek dan objek apa saja. Sehingga bila kita kaitkan dengan tindak bunuh diri, hal ini dapat dikatakan telah melanggar perintah Allah untuk tidak membunuh.

Seseorang bunuh diri karena mengalami sesuatu yang menyakitkan dalam kehidupan sehingga dia beranggapan lebih baik mati. Tapi pada saat seseorang bunuh diri dia akan menyadari bahwa mendekati kematian maka rasa sakit yang dialaminya bukannya hilang tapi bertambah. Orang yang selamat dari usaha bunuh diri umumnya menyesal melakukan usaha bunuh diri. Penyesalan ini menunjukkan bahwa bunuh diri bukanlah hal yang baik untuk dilakukan.


by : Juno , Dian , Dewi (XI S 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar